Oleh: Hairun Yusup
Molokunews.com – Seratus hari kerja pertama bagi seorang kepala daerah seharusnya menjadi momen penting dalam menunjukkan arah kepemimpinan dan komitmen terhadap janji-janji politik saat kampanye. Di Kabupaten Pulau Taliabu, harapan masyarakat terhadap perubahan dan percepatan pembangunan begitu besar. Namun, realitas yang terjadi justru menimbulkan tanda tanya: mengapa sang bupati lebih banyak menghabiskan waktu di luar daerah ketimbang hadir di tengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya?
Fenomena ini menimbulkan kegelisahan dan kekecewaan di berbagai lapisan masyarakat. Kehadiran kepala daerah di wilayah tugasnya adalah simbol dari tanggung jawab, keterlibatan langsung, dan pengawasan terhadap pelaksanaan program. Apalagi dalam seratus hari pertama, yang secara umum menjadi indikator awal dalam menilai sejauh mana kepala daerah mampu memahami dan merespons kebutuhan daerah secara cepat dan tepat.
Dalam konteks Pulau Taliabu, banyak persoalan mendesak yang membutuhkan perhatian langsung dari bupati. Infrastruktur jalan di sejumlah kecamatan masih memprihatinkan, akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan belum merata, serta ekonomi masyarakat belum pulih sepenuhnya pasca kemimpinan sebelumnya. Kondisi ini menuntut adanya kepemimpinan yang hadir, bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara fisik dan emosional di tengah masyarakat.
Seringnya bupati berada di luar daerah — dengan dalih urusan pemerintahan, koordinasi ke pusat, atau kegiatan politik — memang tidak bisa serta-merta dinilai negatif. Namun, ketika durasi dan intensitas ketidakhadiran itu melampaui batas kewajaran, maka muncul persepsi bahwa ada pengabaian terhadap tugas pokok di daerah. Waktu seratus hari pun seakan hanya menjadi rutinitas kosong tanpa arah dan tanpa makna bagi rakyat yang menanti bukti kerja nyata.
Kritik ini bukanlah upaya untuk menjatuhkan, melainkan panggilan untuk refleksi. Bupati sebagai pemimpin tertinggi daerah harus mampu menunjukkan keberpihakan nyata kepada masyarakat, terutama dalam fase awal pemerintahannya. Seratus hari adalah simbol awal untuk membuktikan bahwa kepemimpinan ini memang hadir untuk rakyat, bukan sekadar untuk simbol kekuasaan atau pencitraan semata.
Pemerintahan yang kuat dibangun dari komunikasi yang baik, kedekatan dengan rakyat, dan kemampuan membaca denyut nadi kebutuhan masyarakat. Semua itu mustahil tercapai jika kepala daerah lebih banyak berada di luar kantor dan tidak membangun sistem pengawasan langsung terhadap kinerja SKPD. Dampaknya adalah program-program berjalan lambat, koordinasi melemah, dan kepercayaan publik pun tergerus.
Masyarakat Pulau Taliabu berharap bupati segera kembali dan berkomitmen untuk lebih banyak berada di daerah. Pemerintahan yang efektif dan pro-rakyat dimulai dari kehadiran pemimpinnya di tengah rakyat. Seratus hari kerja harus dijadikan cermin: apakah kekuasaan ini dijalankan dengan tanggung jawab atau justru dijauhkan dari realitas sosial yang ada?
Kini, waktu masih tersedia untuk memperbaiki. Jadikan kritik ini sebagai energi untuk melakukan koreksi. Rakyat Pulau Taliabu tidak menuntut kesempurnaan, tapi mereka pantas mendapatkan pemimpin yang hadir, bekerja, dan benar-benar peduli. Jangan biarkan seratus hari pertama hanya tercatat sebagai momen kosong dalam lembar sejarah pemerintahan. Jadikan ia sebagai titik tolak perubahan menuju Taliabu yang lebih maju dan berkeadilan.
