Oktober 28, 2025
IMG_20250713_233229

Oleh: Asrul Rasyid Iksan

Maluku Utara,Molokunews.com – Tanggal 5 Agustus 1912 bukan sekadar catatan usang dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Hari itu, Presiden Soekarno yang saat itu belum memimpin negara secara formal, tetapi sudah mengusung visi Republik Indonesia, mengukir langkah penting dalam perjuangan kebangsaan dengan melakukan kunjungan diplomatik dan kultural ke kawasan Moloku Kie Raha.

 

Dalam misi pembentukan negara dan pembebasan wilayah-wilayah yang masih berada di bawah cengkeraman kolonial, khususnya Papua Barat, Bung Karno melangkahkan kaki ke Pulau Ternate, Tidore, dan Makian. Di sanalah ia bertemu dengan para tokoh adat dan bangsawan lokal, termasuk Sultan Tidore Jainal Abidin dan Sangaji Makian, guna menjalin solidaritas perjuangan kemerdekaan. Pertemuan ini bukanlah peristiwa biasa, melainkan penegasan bahwa perjuangan Republik Indonesia bukan hanya lahir dari Pulau Jawa, melainkan juga dari ujung timur nusantara.

 

Dalam perundingan yang dilakukan bersama Sultan Jainal Abidin, Bung Karno berhasil memperoleh dukungan dari Kesultanan Tidore untuk menjadikan Soasio di Pulau Tidore sebagai pusat pemerintahan sementara untuk wilayah Papua Barat. Ini bukan hanya simbol dukungan politik, tapi juga bentuk konkret dari keterlibatan aktif Kesultanan Tidore dalam proses pembebasan Papua dari cengkeraman kolonialisme Belanda.

 

Dukungan ini diperkuat dengan dikirimkannya pasukan relawan dari Tidore dan Makian yang disebut TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Mereka bergabung dengan pasukan republik dan ikut serta dalam operasi pembebasan wilayah Papua, termasuk menguasai sebuah pulau strategis di depan Sorong yang kemudian dikenal oleh Belanda sebagai Pulau Opsir Sangaji Dom—nama yang merujuk pada wakil Sangaji Makian dari Tahane yang menjadi utusan Sultan Jainal Abidin.

Kesediaan Sultan Jainal Abidin untuk bergabung dengan Republik Indonesia dan mendukung pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) kala itu bukanlah keputusan yang ringan. Ia mempertaruhkan kekuasaan, stabilitas kerajaan, dan keselamatan rakyatnya demi cita-cita kemerdekaan dan persatuan bangsa. Sebuah tindakan politik yang tidak banyak dilakukan oleh para raja atau sultan lainnya pada masa itu.

 

Namun, hingga kini, nama Sultan Jainal Abidin masih luput dari daftar Pahlawan Nasional. Padahal, kiprah dan jasa-jasanya bukan saja monumental dalam konteks lokal Tidore dan Maluku Kie Raha, tetapi juga dalam konteks nasional: mendukung perjuangan Papua Barat untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dalam setiap langkah perjuangan, ada darah, keringat, dan pengorbanan yang tidak boleh dilupakan bangsa ini.

 

Kini, sudah lebih dari satu abad sejak momen bersejarah itu. Anak cucu dari Kesultanan Tidore dan rakyat Makian menatap Jakarta dengan satu pertanyaan besar: “Kapan Republik menunaikan janjinya?” Kapan nama Sultan Jainal Abidin diabadikan sebagai Pahlawan Nasional yang sejajar dengan tokoh-tokoh kemerdekaan lainnya?

 

Sejarah tidak boleh dimonopoli. Sejarah tidak boleh dilupakan. Sejarah harus ditulis ulang jika ia berpihak pada keadilan dan kebenaran. Pahlawan tidak selalu mereka yang mengangkat senjata, tetapi mereka yang membela cita-cita kemerdekaan, menaruh kepercayaan pada republik yang belum terbentuk, dan mengorbankan apa yang dimiliki demi tanah air.

 

Penetapan Sultan Jainal Abidin sebagai Pahlawan Nasional bukanlah sekadar formalitas gelar. Ini adalah bentuk pengakuan resmi terhadap peran penting Maluku Kie Raha dalam peta perjuangan nasional. Ini adalah cara kita sebagai bangsa untuk mengakui utuh sejarah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Dan kini, saatnya bangsa ini menjawab:

Kapan janji itu ditepati?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *