Oleh : Tendri Rudin
Molokunews.com – Kami lahir dari laut. Kami tumbuh di sebuah desa kecil bernama Kukupang, di Kecamatan Kepulauan Joronga, Kabupaten Halmahera Selatan. Sebagian orang mungkin belum pernah mendengar nama desa kami. Tapi di sanalah, di antara gelombang dan garis pantai, kami dibesarkan oleh tangan-tangan kasar yang terlatih menarik jaring, tangan para nelayan yang kami panggil ayah.
Di Kukupang, laut bukan hanya tempat bekerja. Ia adalah halaman rumah, sekolah pertama, dan tempat kami belajar membaca arah hidup. Sejak kecil kami sudah akrab dengan suara ombak dan bau ikan segar. Kami tahu waktu subuh bukan dimulai dari azan, tapi dari bunyi mesin perahu yang dinyalakan sebelum langit benar-benar terang. Kami tahu kapan ikan muncul, kapan badai datang, dan di mana harus melempar jaring tanpa banyak bicara.
Sebagian besar keluarga kami adalah nelayan. Mereka berangkat melaut dengan perahu kayu sederhana, tanpa radar, tanpa jaminan. Mereka membawa harapan, dan pulang membawa hasil tangkapan jika laut sedang baik. Ikan, udang, teripang, kerang, semua itu menjadi sumber utama kehidupan. Kami makan dari laut. Kami sekolah dari laut. Kami disekolahkan oleh laut.
Tapi kita juga tahu, laut tidak lagi seperti dulu.
Musim kini sulit ditebak. Angin datang tiba-tiba. Hasil tangkapan semakin sedikit. Banyak tempat yang dulunya kaya akan ikan kini terasa sunyi. Ayah-ayah kami harus melaut lebih jauh, lebih lama, dan sering pulang dengan tangan kosong. Kami melihat sendiri bagaimana wajah-wajah mereka tetap diam, tapi mata mereka menyimpan lelah yang dalam.
Kami tidak marah pada laut. Kami tahu laut tidak salah. Tapi kami tahu ada sesuatu yang berubah. Kami dengar cerita tentang laut yang rusak karena tangan-tangan yang tak sabar. Tentang praktik tangkap yang tidak ramah, yang menghancurkan ekosistem tempat ikan bertelur. Kami tidak ingin menunjuk siapa pun. Kami hanya ingin agar laut kembali seperti dulu, hidup, bersih, dan memberi.
Bukan hanya kami yang mengalami ini. Banyak desa lain juga hidup dalam sunyi yang sama. Tapi kami ingin bicara bukan untuk mengeluh, melainkan untuk bersaksi. Bahwa di tempat-tempat seperti Kukupang, ada kehidupan yang terus bertahan meski perlahan-lahan dilupakan. Ada anak-anak nelayan yang kini jadi mahasiswa, seperti saya, yang membawa cerita dari perahu ke kampus. Dari dermaga ke ruang diskusi. Dan dari kampung ke masa depan.
Mereka tahu tantangan ini tidak kecil. Tapi kami juga tahu bahwa kami tidak mau menyerah. Kami percaya bahwa pengetahuan ayah kami tentang laut adalah ilmu yang sah. Bahwa cara hidup dari laut bisa menjadi contoh hidup berdampingan dengan alam. Kami percaya bahwa keberlanjutan itu bukan teori, tapi praktik harian yang sudah dilakukan oleh nelayan-nelayan sejak lama.
Ayah, ibu, dan para anak-anak tidak butuh dikasihani. Kami hanya ingin didengar. Ada jalan yang terbuka, akses pasar yang lebih baik, koperasi yang benar-benar berpihak, pelatihan yang sesuai dengan kondisi kami, dan ruang untuk tetap menjaga laut sendiri. Kami percaya, jika diberi kesempatan, nelayan-nelayan kecil di desa seperti Kukupang bisa menjadi garda depan pelestarian laut Indonesia.
Suatu hari nanti, mungkin banyak dari kami akan kembali ke desa. Membangun dari apa yang kami pelajari di luar. Tapi kami tahu, akar kami tidak pernah pergi. Ia tertanam di pasir pantai Kukupang, tempat kami pertama kali belajar bahwa hidup bukan tentang memiliki banyak, tapi tentang bertahan dengan harga diri.
Hari ini, suara mungkin masih pelan. Tapi suara itu nyata. Dan pantas untuk kita dengar. Karena melalui kisah nelayan Kukupang, kita diajak untuk kembali menoleh pada laut bukan sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi, tapi sebagai rumah bersama yang patut dijaga.
kami tidak menuntut banyak. Hanya ingin terus bisa melaut, seperti tetemoyang kami dulu. Kami hanya ingin laut tetap menjadi rumah yang memberi, bukan menjadi ruang yang kian sunyi.
Redaksi : Mito
