Oktober 28, 2025
IMG-20250727-WA0006

Oleh: Ul

Di tengah hijaunya lereng bukit, seorang ayah memegang kapak, memandang langit yang menjanjikan panas dan keringat. Di rumah kecilnya, seorang anak laki-laki membuka bukunya, bermimpi tentang dunia yang belum ia lihat. Dua tangan yang berbeda, tetapi tujuan mereka sama: masa depan.

 

Udara pagi di desa Ake Boki masih dipenuhi kabut. Fajar belum sepenuhnya muncul, tetapi suara alam telah bangun lebih awal. Ayam berkokok bergantian dari ujung desa. Di dapur, api kecil menyala di tungku, menghangatkan sekeping air dan sepiring singkong yang direbus. Rumah kayu itu berdiri dengan rapuh, namun penuh dengan kehidupan. Di dalamnya, Pak Salim sedang mengikat tali kapaknya sambil sesekali melirik anaknya, Hamj, yang masih tertidur.

 

Pak Salim seorang petani kebun. Ukuran lahannya tidak terlalu besar dan juga tidak sepenuhnya subur. Namun, dari sanalah dia mendapatkan penghasilan untuk dirinya dan Hamja setelah istrinya meninggal empat tahun yang lalu. Setiap hari, ia melakukan aktivitas menebang kayu bakau, membersihkan semak-semak, atau memanen hasil kebun yang ada untuk dijual di pasar. Setiap pagi, ia pergi sebelum matahari terbit dan kembali saat hari hampir gelap. Hal ini juga terjadi hari ini.

 

Dengan langkah yang berhati-hati, ia membuka pintu dan keluar dari rumah. Angin pagi terasa dingin di kulitnya, tetapi tubuhnya sudah terbiasa. Kapak yang dibawanya di atas bahu bergerak perlahan, seiring dengan langkah yang telah dilakukannya berkali-kali. Kebun kecilnya berada di ujung jalan tanah, melintasi ilalang dan jembatan bambu. Sementara ia berjalan, pikirannya dipenuhi oleh satu hal: masa depan Hamja.

 

Hamja baru saja mulai kelas enam di SD, tetapi dia sudah memiliki cita-cita yang tinggi—ingin menjadi seorang guru. Pak Salim menyadari bahwa itu bukanlah impian yang mudah. Dia sendiri hanya dapat bersekolah hingga kelas tiga. Setelah kematian ayahnya, dia terpaksa berhenti sekolah dan mulai bekerja untuk membantu ibunya merawat kebun. Sejak saat itu, kehidupannya selalu di sekitar tanah, kayu, dan kapak. Namun, Pak Salim melihat dedikasi Hamja yang gemar membaca dan rajin belajar meskipun hanya dengan buku bekas dan lampu minyak. Itu membuatnya yakin bahwa anaknya pantas mendapatkan kesempatan yang lebih baik.

 

Pada pagi hari itu, Pak Salim tengah menebang pohon kayu tua yang telah miring. Setiap kali kapak menghantam, ia merasakan beratnya pekerjaan itu. Ini bukan karena kayunya yang keras, melainkan karena tubuhnya yang semakin lemah. Namun, dia tidak boleh menyerah. “Selama Hamja masih belajar, aku harus bertahan,” pikirnya. Kayu-kayu tersebut nantinya akan dijual, dan uangnya akan dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk biaya masuk ke SMP. Meski jumlahnya masih belum mencukupi, setidaknya setiap potong kayu adalah langkah awal menuju impian yang sedang dia upayakan.

 

Sementara itu, Hamja bangun di rumah dan mulai mempersiapkan diri. Dia mengenakan seragam yang sudah kehilangan warnanya dan memasang pin namanya yang hampir tidak bisa dibaca karena retak. Dengan tali rafia, ia menggendong tas plastik bekas beras. Namun, di wajahnya tidak ada tanda-tanda malu—hanya terlihat semangat dan senyuman tipis. Hamja menyadari ayahnya tidak memiliki banyak harta, tapi baginya, semua yang dibutuhkan adalah cinta dan pengorbanan.

 

Ketika Pak Salim pulang dengan membawa kayu, Hamja sudah menanti di depan rumah.

“Apakah kamu sudah siap, Ja? ” tanya Pak Salim.
“Siap, Yah. Hari ini kita akan belajar tentang akar dan batang,” jawab Hamja dengan senyum.

 

Pak Salim tertawa kecil. “Di kebun banyak sekali batang dan akar. Mari bantu Ayah, sambil belajar langsung. ”

Mereka berpisah di tepi jalan. Hamja berjalan menuju sekolah yang jaraknya dua ratus meter, sedangkan Pak Salim kembali ke kebun yang masih perlu dibersihkan. Meskipun langkah mereka tidak sama, tujuan hati mereka searah, yaitu menuju masa depan yang lebih baik.

 

Pagi itu, embun masih membasahi tanah, dan matahari belum terlalu tinggi. Namun, keringat Pak Salim telah membuat bajunya basah. Ia menyadari bahwa mungkin saat Hamja menerima ijazah, namanya tidak akan tertera. Namun, ia yakin bahwa di balik setiap huruf pada ijazah itu, ada keringatnya yang tersisa.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *